Setiap
harinya ketika mentari itu muncul, aku akan kembali termenung di tempat ini
bersama beribu kenangan yang terbawa angin menerpa tubuhku. Kemudian aku akan
tersenyum menikmati waktu – waktu lalu yang aku rindukan. Dan berlari mengejar
itu semua, mengikuti kemana kaki ini melangkah, yang akan berhenti di ujung
jalan bersama semua ketidakpastian itu. Pada akhirnya aku hanyalah salah satu
dari beribu jiwa yang hidup di bumi ini. Yang belum bisa melangkah pasti hingga
akhir. Pada akhirnya aku hanyalah manusia yang memilih untuk melangkah mundur,
karena kerasnya terpaan badai saat itu.
Dalam
tahun – tahun itu, di atas batu kerikil yang tajam aku membangun kepercayaan
diri ini. Hingga aku sadar, hal itu melukai ku secara perlahan. Ratusan kali
aku mencoba hal yang sama, ratusan kali aku berhenti di tempat yang berbeda,
ratusan kali pula aku bertemu dengan jiwa – jiwa baru. Semuanya bersama – sama
dengan ku. Hingga aku tersadar, sesungguhnya aku belum beranjak dari tempat
itu. Sepasang merpati yang sedang berbagi cerita mengingatkan ku akan aku yang
dulu. Dan semua cerita tentang mu, hal yang paling aku rindu. Ya, semua kisah
tentang mu yang menjadi cita cinta pertamaku.
Semula
bukan aku, dan juga bukan kamu. Kita adalah anda, dan kita adalah saya.
Kemudian kita bermain – main dengan waktu. Usia belia, dimana kita mencoba
keluar dari kebiasaan lama yang jenuh. Kemudian kita bermimpi terbang ke
angkasa bergandeng tangan dengan sayap yang kita punya. Dengan pasti kamu
membawaku melihat semua dari jauh, dan memberiku kehangatan saat itu. Lalu kita
bernyanyi diiringi melodi surga yang turun terkhusus untuk bunga cinta yang
sedang mekar. Kamu memamerkan keindahan senyummu sebagai karya agung sang
pencipta yang menemaniku saat ini.
Waktu
terlalu cepat berotasi, hingga kita menjadi kumbang dan bunga pagi. Namun, di
waktu itu aku melihat senyum itu perlahan pudar. Seakan kita sedang menanti
musim gugur dalam alam yang bersenandung pedih. Aku terlalu takut untuk
meraihmu kembali, aku hanya punya satu sayap disaat kau butuh untuk terbang
lagi. Aku tak mampu membawamu seperti halnya kamu menggandengku ke atas sana.
Semakin lama, semakin redup. Hingga aku tak lagi melihat mu bercahaya seperti
halnya kamu yang menjadi bintang di langit malam ku. Saat dimana aku harus
membawa karya surga itu kembali. Aku mencari dan terus mencari, hingga aku tahu
kamu ingin sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku.
Aku
terlalu dingin untuk menghangatkan mu, dan terlalu bodoh untuk berdalih saat
itu. Hingga aku tak tahu apa yang kita lalui bersama menjadi satu petunjuk
untuk mu yang kini mulai memahami isi hatimu. Mungkin tidak dengan ku yang
terlalu lamban untuk itu. Hingga akhirnya aku berlari jauh dan meninggalkan
jejak tersirat di hatimu. Selama itu aku diam di persimpangan yang kelam. Kamu
tak lagi mencariku, tak lagi membawaku terbang seperti dulu, aku tahu sayapmu
tak mampu terbang tanpa yang lainnya. Hingga kamu pergi dan menutup goresan itu
dengan cinta sang kupu – kupu pelangi di siang hari.
Sejak
itu, kamu tak lagi menjadi bintang, kamu sudah jatuh menimpa bola dunia yang
berputar ini, terbakar atmosfir dan habis diperjalanan mu yang hampa. Seperti
halnya aku yang kini menjadi semak duri dalam pahitnya kata yang aku bawa
sendiri, dengan angin yang selalu membawa kenangan ini. Berita dari jauh yang
membuatku terus bertahan, walau aku hanya sekedar tahu, karya surga itu masih
tetap bersinar. Bukan lagi dalam langit malam dan bunga pagi, seperti saat
bertemankan cerita lama dari dalam hatiku yang masih menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar